PERFORMA
PRODUKSI TELUR DUA GALUR AYAM SENTUL DI BALAI PENGEMBANGAN PERBIBITAN TERNAK
UNGGAS JATIWANGI, MAJALENGKA
EGG PRODUCTION PERFORMANCE
TWO STRAINS OF CHICKENS SENTUL IN
BUREAU DEVELOPMENT OF POULTRY BREEDING JATIWANGI, MAJALENGKA
Muhammad Salman Afira*, Tuti Widjastuti, dan Primiani Edianingsih
Universitas
Padjadjaran
*Alumni Fakultas Peternakan Unpad tahun 2009
e-mail : Sonjay_dutt@rocketmail.com
Abstrak
Penelitian mengenai Performa Produksi
Telur Dua Galur Ayam Sentul di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Unggas
Jatiwangi, Majalengka, telah dilakukan dari tanggal 18 Maret-16 April 2013.
Tujuan penelitian untuk mengetahui performa produksi telur ayam Sentul Batu dan
Debu, mengetahui perbandingan performa produksi telur ayam Sentul Batu dan Debu.
Metode yang digunakan statistik deskriptif dan analisis uji t-student. Jumlah ayam
Sentul yang diteliti sebanyak 39 ekor ayam Sentul Batu dan 23 ekor ayam Sentul
Debu. Peubah yang diamati adalah konsumsi ransum, bobot telur, dan hen-day production. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi ransum dan hen-day ayam Sentul Batu nyata lebih
tinggi dibandingkan dengan Sentul Debu, sedangkan bobot telur antara kedua
galur ayam Sentu sama. Kesimpulan ini ditunjang oleh data hasil penelitian yang
menjelaskan bahwa rataan konsumsi ayam Sentul Batu yaitu 78,26 gram/ekor/hari
dan ayam Sentul Debu yaitu 74,14 gram/ekor/hari, sedangkan untuk bobot telur
rata-rata untuk ayam Sentul Batu yaitu 40,05 gram/butir dan ayam Sentul Debu
yaitu 39,40 gram/butir. Hen-day ayam
Sentul Batu sebesar 21,03% dan ayam Sentul Debu sebesar 19,86%.
Kata kunci : Performa
produksi telur, sentul batu, sentul debu,
Abstract
This
research on Egg Production Performance Two Strains of Chickens Sentul in Bureau
Development of Poultry Breeding Jatiwangi Majalengka, had been conducted during
the month of March 18th 2013 up to April 16th 2013. The
aim of this research was to know difference performance eggs production between
Sentul Batu Chicken and Debu. The data were statistic description and independent
sample t-test. The research had been taken care by using description method on
39 Sentul Batu Chicken and 23 Sentul Debu Chicken. Performance eggs production
had been feed intake, egg weight, and hen-day production. The results showed that the feed
intake and hen-day Sentul Batu chicken higher than the Sentul Debu chicken, while the weight of a chicken egg between the two strains Sentul of the same. This conclusion is
supported by research data that explains that the average consumption of two
strains of Sentul chicken is 78,26 grams/head/day for Sentul Batu chicken, and 74,14
grams/head/day for Sentul Debu chicken. Egg weight average for Sentul chicken
Batu and Debu is 40,05 grams/grains and 39,40 grams/grains. Hen-day average Sentul
Batu chicken is 21,03% and Sentul Debu chicken is 19,86%.
Keywords
: Egg production performance, sentul batu, sentul debu
- PENDAHULUAN
Indonesia
banyak memiliki ayam lokal yang potensial untuk dikembangan. Populasi ayam
lokal sebagian besar terdapat di Pedesaan. Pada tahun 2011, populasi sementara
mencapai 274,893 juta ekor (Direktorat Jenderal Peternakan, 2011), dan sebagian
besar (70%) menggunakan sistem pemeliharaan secara tradisional (berkeliaran/scavenging) dan hanya 30% yang mengikuti
program intensifikasi ayam buras (INTAB).
Ayam
lokal
merupakan sumber daya genetik Indonesia yang masih perlu digali lagi
potensinya. Saat ini terdapat beberapa galur yang mempunyai ciri-ciri spesifik
dan sebagian berpotensi untuk dijadikan ternak unggas komersial. Nataamijaya (2000) mengemukakan terdapat galur ayam lokal
Indonesia yang mempunyai ciri spesifik, diantaranya adalah ayam Sentul.
Ayam Sentul merupakan salah satu sumber
daya genetik asli dari daerah Ciamis, Jawa Barat. Keunggulan ayam ini berupa
pertumbuhannya lebih cepat dan produksi telur relatif lebih tinggi dibandingkan
ayam lokal lain. Potensi tersebut menjadikan ayam Sentul dapat digunakan
sebagai komoditas peternakan ayam lokal. Pemerintah
sampai saat ini sudah memberikan perhatian serius dengan mengembangkan ayam
Sentul. Ayam Sentul
ini berkembang di daerah Ciamis, Jawa Barat, meskipun awalnya dikenal sebagai
ayam aduan, akan tetapi sekarang banyak dipelihara sebagai ayam pedaging dan
petelur. Berdasarkan warna bulunya, ayam Sentul terdiri dari lima galur, yakni Sentul Kelabu (berwarna
abu-abu), Sentul Geni (berwarna abu-abu kemerahan), Sentul Jambe (berwarna
merah jingga), Sentul Batu (berwarna abu-abu keputihan), Sentul Debu (berwarna
debu), dan Sentul Emas (berwarna abu-abu kekuningan).
Balai
Pembibitan Ternak Unggas Jatiwangi, Kecamatan Majalengka, merupakan salah satu
Unit Pelayanan Terpadu Daerah Dinas Peternakan Jabar. Balai yang didirikan pada
tahun 1952 itu memiliki bermacam koleksi budidaya ayam dan itik. Dalam
perkembangan, pada tahun 1980 balai itu berubah nama menjadi Balai Perbibitan
Ternak dan Hijauan Makanan Ternak Jatiwangi yang bergerak dalam budidaya sapi
perah, kambing, dan unggas. Pada tahun 2002 kembali balai itu berubah nama
menjadi Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Unggas Jatiwangi. Lahan kompleks peternakan itu 16,5 ha, namun
yang ditempati baru 7 ha. Banyak ayam lokal, seperti ayam kedu, ayam sentul, pelung, arab, dan ayam
hasil perkawinan silang dikembangkan di tempat itu.
Dalam upaya melestarikan sumberdaya
genetik unggas lokal yang ada di Jawa Barat, Balai Pengembangan
Perbibitan Ternak Unggas (BPPTU) Jatiwangi, sesuai dengan tugasnya, secara
terus menerus melaksanakan perbaikan mutu genetik unggas lokal baik ayam lokal
maupun itik. Salah satu upaya untuk
meningkatkan mutu genetik tersebut adalah melalui pembentukan Bangsa Murni
(Pure Breed) dan Galur Murni (Pure Line) ayam Sentul.
Usaha
Identifikasi dan karakterisasi ayam Sentul masih sangat diperlukan. Kegiatan
ini dianggap sangat penting karena disamping berguna untuk keperluan sumber
daya genetik Indonesia, juga berguna dalam membantu program pemuliaan.
Identifikasi dapat dilakukan dengan mengidentifikasi performa tubuh juga dapat
dilakukan dengan mengidentifikasi performa produksi telurnya. Pengembangan ayam
Sentul penting dilakukan selain untuk menjaga ayam Sentul dari kepunahan, juga
untuk menggali potensi genetik yang ada dalam ternak tersebut demi
memaksimalkan pemanfaatan. Oleh karena itu, ayam Sentul sangat baik bila
dimanfaatkan sebagai ayam lokal
penghasil daging dan telur. Populasi
ayam Sentul yang tinggal sedikit, menuntut upaya pengembangan lebih lanjut,
disamping untuk melestarikan sumberdaya genetik asli Indonesia, juga untuk
memaksimalkan manfaat yang dapat digali dari potensi genetik yang dimilikinya.
Balai Pengembangan
Perbibitan Ternak Unggas Jatiwangi (BPPTU Jatiwangi), setiap harinya melakukan
pencatatan performa produksi telur ayam Sentul. Di Balai Pengembangan
Perbibitan Ternak Unggas Jatiwangi terdapat dua galur ayam Sentul yaitu ayam
Sentul Batu (berwarna abu-abu) dan ayam Sentul Debu (berwarna abu-abu
keputihan) yang sama-sama bertujuan sebagai penghasil telur. Oleh karena itu,
penulis tertarik untuk mengetahui “Performa Produksi Telur Dua Galur Ayam Sentul di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak
Unggas Jatiwangi, Majalengka”.
- METODE PENELITIAN
Materi
Penelitian
Bahan Penelitian
Objek dalam
penelitian yang diamati
adalah ayam Sentul betina umur 48-52 minggu sebanyak 39 ayam Sentul Batu dengan bobot badan rata-rata 1.205 gram dan 23 ekor ayam Sentul Debu dengan bobot badan rata-rata 1.138 gram. Penentuan umur
ternak dilihat pada pencatatan di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Unggas Jatiwangi.
Kandang dan Perlengkapan Penelitian
Kandang yang digunakan dalam penelitian menggunakan sistem kandang cage, dan terbuat dari besi dan ram kawat dengan ukuran panjang tiap unit kandang 40 cm, lebar 22 cm, dan tinggi 40
cm untuk tiap ekor ternak. Setiap unit kandang diberi nomor agar mudah dalam pencatatan. Tempat pakan terbuat dari bahan seng yang memanjang (trough feeder). Tempat air minum
terbuat dari pipa paralon memanjang dengan menggunakan nipple.
Peralatan Penelitian
Peralatan yang digunakan dalam
penelitian adalah :
1.
Timbangan digital
merk ACIS tipe AD-300H, berkapasitas 300 g dan timbangan digital model FEJ-2000
dengan kapasitas 2000 g untuk menimbang telur
2.
Timbangan
gantung kapasitas 150kg dan timbangan duduk kapasitas 300gram untuk menimbang
ransum
3.
Egg tray, berfungsi sebagai
tempat penyimpanan telur
4.
Alat tulis
5.
Kalkulator
6.
Kamera digital
7.
Komputer / Laptop
Susunan Ransum
Penelitian
Pemberian ransum dalam bentuk mash. Ransum yang diberikan mempunyai kandungan protein 16,61 % dan Energi Metabilis 2662,99 kkal/kg. Pemberian pakan pada seluruh ternak dengan perlakuan yang sama, yakni
sesuai rekomendasi dari BPPTU
Jatiwangi.
Pencegahan
Penyakit
Pencegahan terhadap penyakit meliputi : desinfeksi dan vaksinasi.
1.
Desinfeksi kandang
dan peralatan serta pembasmian serangga, parasit dan hama lainnya dilakukan
secara teratur.
2.
Vaksinasi dilakukan
terhadap penyakit Newcastle Disease (ND), Infectious Bronchitis (IB), Avian
Influenza (AI) serta penyakit hewan lainnya yang ditetapkan dilakukan sesuai
petunjuk teknis kesehatan hewan.
Metode
Penelitian
Pengumpulan
Data
Data penelitian menggunakan data primer.
Data primer diperoleh dengan cara melakukan penimbangan
dan pengamatan terhadap performa produksi telur yang meliputi produksi telur yang diperoleh konsumsi
ransum, bobot telur,
dan hen-day ayam Sentul. Selanjutnya data tersebut dianalisis
dengan analisis statistik deskriptif dan uji t-student untuk membandingkan performa produksi telur dua galur ayam Sentul.
Pemberian Ransum
dan Air Minum
Ransum diberikan sebanyak 80
gram/ekor/hari pada tempat pakan yang telah
disediakan. Bentuk ransum yang diberikan selama penelitian adalah bentuk mash.
Ransum diberikan dua kali setiap hari pada pagi
hari pukul 08.00 WIB dan siang hari pukul 14.30 WIB. Air minum
diberikan secara ad libitum pada
tempat minum yang telah disediakan. Air minum selalu diberikan dalam keadaan
bersih dan segar.
Peubah
yang Diukur
Peubah yang
diamati meliputi:
1.
Konsumsi
Ransum (gram/ekor/hari)
Konsumsi ransum dicatat
per hari, diakumulasi kemudian
diambil rata-rata konsumsi per ekornya selama penelitian.
2.
Bobot
Telur (gram/butir)
Telur ayam Sentul dikoleksi setiap harinya
dari tiap ekor ayam Sentul. Telur dari tiap ekor tersebut ditimbang dengan
menggunakan timbangan digital dan diperoleh berat telur tiap ekor, setelah itu dilakukan pencatatan.
3.
Hen-day
Production ( %)
Tiap kelompok dalam kandang dihitung
produksinya setiap minggu dihitung produksi telur yang merupakan presentase
jumlah produksi telur dari total ayam produktif pada saat tersebut atau menurut
Anggorodi (1985) dapat dinyatakan sebagai berikut:
Hen-day(%)= x100%
Analisis
Statistik Deskriptif
Data hasil penelitian dianalisis
dengan menggunakan analisis statistik
deskriptif meliputi :
1.
Rata-rata
/ Mean, yaitu bilangan yang diperoleh dari seluruh jumlah data dibagi dengan
banyaknya
data, rumusnya adalah :
Keterangan :
= rata-rata populasi
x
= nilai data individu
i = 1,2,3,……N
N = banyaknya
data populasi
2.
Minimal
Untuk
mengetahui nilai terendah peubah yang diamati
3.
Maksimal
Untuk
mengetahui nilai tertinggi peubah yang diamati.
4.
Simpangan
baku adalah akar dari ragam. Ragam merupakan jumlah kuadrat semua deviasi
nilai-nilai individu terhadap rata-rata populasi, rumusnya:
Keterangan :
σ = akar dari ragam
= rata-rata populasi
x
= nilai data individu
i = 1,2,3,……N
N = banyaknya
data populasi
5.
Ragam
Keterangan :
= ragam
= rata-rata populasi
x
= nilai data individu
I = 1,2,3,……N
N = Banyaknya data
populasi
6.
Koefisien
variasi adalah ukuran yang digiunakan untuk membandingkan variasi relatif
beberapa kumpulan data dengan satuan yang berbeda, rumusnya adalah :
KV = x 100%
Keterangan : KV
= koefisien variasi
= Rata-rata populasi
σ = simpangan baku
Uji t student
Uji t student
untuk menguji performa dua populasi berbeda, menguji dua variabel yang saling independen (Sudjana, 2005).
n1 = jumlah populasi pada peubah 1 (populasi ayam Sentul Batu)
n2
= jumlah populasi pada peubah 2
(populasi ayam Sentul Debu)
·
Hipotesis yang diajukan
Ho = tidak ada
perbedaan nilai tengah populasi antara
ayam Sentul Batu dan ayam Sentul Debu
(non significant level)
H1 = ada perbedaan nilai
tengah populasi antara ayam Sentul Batu dan ayam Sentul Debu (significant level)
Langkah pengujian
1.
Menghitung
ragam masing-masing peubah
Ragam peubah
untuk N
Keterangan :
N1=
Peubah 1 (Ayam Sentul Batu) N2
= Peubah 2 (Ayam Sentul Debu)
·
Menguji
keseragaman/homogenitas ragam dengan pengujian Bahren Fisher
·
Kaidah
keputusan
Fhit
≤ F0,05 → terima
H0, tolak H1
2.
Untuk
simpangan baku berbeda (σ1 ≠ σ2)
·
Statistik uji ragam berbeda
Keterangan
:
t’ =
statistik t’
µ =
rata – rata populasi
σ = Simpangan baku
n
= jumlah data
·
Kriteria pengujian adalah : terima
hipotesis jika
t’
Dengan : = ; =
=
=
(Sudjana,
2005)
Analisis perbedaan antara ayam Sentul Batu dan ayam Sentul
Debu menggunakan analisis uji paket program SPSS 16.
- HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Unggas Jatiwangi
Lokasi
UPTD - BPPTU Jatiwangi terletak di Jl. Raya Loji Km. 35 Jatiwangi, Kabupaten
Majalengka, Provinsi Jawa Barat. Suhu udara rata-rata harian di wilayah UPTD -
BPPTU Jatiwangi berkisar antara 25-38ºC dengan curah hujan 6,6 mm per tahun.
Keberadaan UPTD - BPPTU Jatiwangi cukup strategis yaitu berjarak 100 m dari
jalan raya, sehingga mudah dalam pemasaran maupun pengadaan sarana dan prasarana
produksi, namun dalam usaha perbibitan ternak jarak demikian belum
ideal untuk dijadikan sebagai lokasi perbibitan sebaiknya jarak antara
peternakan dengan jalan raya sekitar 1 km. Jarak antara
lokasi perkantoran dan rumah dinas dengan kandang ayam berkisar antara 50 m, dalam
hal ini sebaiknya 100 m. Jarak antara UPTD - BPPTU Jatiwangi dengan pemukiman
penduduk berkisar antara 100-200 m tetapi dalam hal perencanaan untuk
peternakan perbibitan yaitu minimal 250 m agar pemukiman penduduk tidak
tercemar akibat polusi dari limbah ternak. Seluruh areal UPTD - BPPTU Jatiwangi
dikelilingi oleh pagar beton dengan ketinggian 2,5 m sehingga tidak menggangu
penduduk sekitar dan aman dari gangguan luar.
Ayam yang dipelihara di UPTD -
BPPTU Jatiwangi adalah parent stock. Jenis ayam lokal yang digunakan adalah ayam kedu,
ayam sentul, dan ayam arab. Masing-masing jenis ayam merupakan ayam lokal asli
dari daerah di Indonesia dan memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda. Jumlah
keseluruhan ayam buras yang terdapat di UPTD - BPPTU adalah pada bulan Juni
2013 9.091 ekor. Jumlah ayam periode starter 2.720 ekor, periode grower
2.283 ekor, dan periode layer 4.088 ekor. Jumlah ayam Sentul yang digunakan untuk penelitian yaitu umur 48-52 minggu sebanyak 39 ekor ayam Sentul Batu dan ayam Sentul Debu 23 ekor,
dikarenakan populasi ayam Sentul yang diambil adalah ayam Sentul yang sedang
berproduksi dan populasi tersebut merupakan ayam Sentul yang sedang dalam upaya
pemurnian.
Konsumsi
Ransum Ayam Sentul Batu dan Debu di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Unggas
Jatiwangi
Hasil pengamatan dan perhitungan rata-rata
konsumsi ransum Ayam Sentul Batu dan Debu selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Konsumsi Ransum Ayam Sentul Batu dan Debu gram
per ekor per hari di BPPTU Jatiwangi, Majalengka Selama Penelitian
Parameter
|
Ayam Sentul
|
|
Batu
|
Debu
|
|
N (ekor)
|
39
|
23
|
|
………………gram/ekor/hari………………..
|
|
Rata- rata
|
78,26
|
74,14
|
Minimal
|
74,39
|
70,69
|
Maksimal
|
80,00
|
78,21
|
Simpangan
baku
|
1,21
|
1,52
|
Koefisien
variasi
|
1,55
|
2,04
|
Dari Tabel 2.
terlihat bahwa konsumsi ransum ayam Sentul Batu dan Debu cenderung
seragam karena koefisien variasi konsumsi ransum dua galur ayam Sentul hanya
1,55 dan 2,04% tidak lebih dari 10 persen. Sesuai dengan pendapat
Sudjana (2005) yang
mengemukakan bahwa,
populasi dianggap seragam memiliki nilai koefisien variasi (konsumsi ransum) tidak
lebih dari 10%. Untuk mengetahui perbedaan konsumsi ransum ayam
Sentul Batu dan Debu maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan metode uji
t-student (lampiran 7). Hasil dari uji t-student menunjukkan bahwa konsumsi
ransum ayam Sentul Batu dan Debu berbeda nyata
(P<0,05).
Tabel
3. Uji t-student Konsumsi Ransum Ayam Sentul Batu dan Debu
Pengamatan
|
Ayam Sentul
|
Rata-rata (gram/ekor/hari)
|
Signifikansi (0,05)
|
30 hari
|
Batu
|
78,26
|
a
|
Debu
|
74,14
|
b
|
Keterangan:
Huruf yang berbeda didalam kolom menunjukkan berbeda nyata
Dari hasil uji
t-student (Tabel 3) terlihat bahwa konsumsi ransum ayam Sentul Batu (78,26
gram/ekor/hari) dan untuk ayam Sentul Debu (74,14 gram/ekor/hari), menunjukkan
hasil berbeda nyata. Hal ini dikarenakan perbedaan rata-rata bobot badan antara
Sentul Batu lebih besar (1.205 gram) dibandingkan dengan Sentul Debu (1.138
gram) yang menyebabkan ransum yang dikonsumsi oleh Sentul Batu lebih tinggi
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Hasil ini sesuai dengan pendapat Scott,
dkk., (1982) yang menyatakan bahwa tingkat konsumsi ransum dipengaruhi oleh
bobot dan bangsa ayam.
Konsumsi ransum ayam Sentul Batu (78,26 gram/ekor/hari) dan Debu (74,14
gram/ekor/hari) lebih rendah dari hasil yang diperoleh Widjastuti (1996), yang
menyatakan bahwa konsumsi ransum ayam Sentul sekitar 80 gram/ekor/hari dengan kebutuhan (protein dan energi
metabolis) yaitu protein 15,44%, EM 2756,325 kkal/kg (sistem cage). Sejalan dengan hal itu Gunawan, dkk
(2003) berpendapat bahwa apabila pemberian ransum berlebihan atau kurang dari jumlah yang dianjurkan, maka pertumbuhan dan
produktivitas ayam akan terganggu. Tilman, dkk (1991) menambahkan bahwa
jumah ransum yang dikonsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas. Semakin palatable ransum, maka semakin banyak
jumlah ransum yang dikonsumsi.
Hasil yang diperoleh untuk konsumsi
ransum ayam Sentul Batu (78,26 gram/ekor/hari) dan ayam Sentul Debu (74,14
gram/ekor/hari) lebih rendah dibandingkan penelitian Widjastuti (1996) yaitu
dengan rata-rata 80 gram/ekor/hari (dalam suhu lokasi penelitian antara
21-28ºC), sementara di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Unggas Jatiwangi
suhu berkisar antara 25-38ºC. Sejalan dengan pendapat Wahju (1992) konsumsi
ransum menurun 1,5% setiap kenaikan temperatur 1ºC, sebaliknya temperatur yang
rendah dapat meningkatkan konsumsi ransum.
Bobot Telur Ayam
Sentul Batu dan Debu di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Unggas Jatiwangi
Bobot telur ayam Sentul Batu dan Debu selama
penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Rata-rata bobot telur yang dicapai
adalah 40,05 gram/butir untuk Sentul Batu dan 39,40 gram/butir untuk Sentul
Debu.
Tabel 4. Rataan Bobot Telur Ayam Sentul Batu dan Debu
gram per butir di BPPTU Jatiwangi, Majalengka Selama Penelitian
Parameter
|
Ayam Sentul
|
|
Batu
|
Debu
|
|
Jumlah (ekor)
|
39
|
23
|
|
…………….gram/butir…………...
|
|
Rata-rata
|
40,05
|
39,40
|
Minimal
|
36,05
|
35,81
|
Maksimal
|
46,52
|
42,63
|
Simpangan
baku
|
2,13
|
2,08
|
Koefisien
variasi
|
5,32
|
5,28
|
Dari
Tabel 4. terlihat bahwa bobot telur ayam Sentul Batu dan Debu cenderung
seragam karena koefisien variasi bobot telur 5,32%,
Sudjana (2005)
mengemukakan bahwa,
populasi dianggap seragam apabila memiliki nilai koefisien variasi tidak
lebih dari 10%.
Untuk
mengetahui perbedaan bobot telur
ayam Sentul Batu dan Debu maka dilakukan uji statistik dengan menggunakan
metode Uji t-student (lampiran 7). Hasil dari uji t-student menunjukkan bahwa
bobot telur ayam Sentul Batu dan Debu tidak berbeda
nyata (P>0,05).
Tabel
5. Uji t-student Bobot Telur Dua galur Ayam Sentul
Pengamatan
|
Ayam Sentul
|
Rata-rata (gram/butir)
|
Signifikansi (0,05)
|
30 Hari
|
Batu
|
40,05
|
a
|
Debu
|
39,40
|
a
|
Keterangan:
Huruf yang sama didalam kolom menunjukkan tidak berbeda nyata
Tabel
5. menunjukkan bobot telur
ayam Sentul Batu mempunyai rata-rata sebesar 40,05 gram/butir
dan ayam Sentul Debu sebesar 39,40 gram/butir menunjukkan
hasil yang tidak berbeda nyata. Apabila dihubungkan dengan konsumsi ransum, maka ayam Sentul Batu lebih
tinggi mengkonsumsi ransum daripada ayam Sentul Debu tetapi bobot telur yang
dihasikan sama. Hal ini karena kondisi Sentul Batu memiliki warna bulu yang
lebih gelap yang dapat menahan panas di dalam tubuhnya lebih tinggi sehingga
untuk mengeluarkan panas dari dalam tubuhnya diperlukan energi lebih banyak
dibandingkan dengan ayam Sentul Debu yang memiliki warna bulu yang lebih
terang. Oleh karena itu walaupun ayam Sentul Batu konsumsi lebih tinggi, akan
tetapi bobot telur yang dihasilkan
sana dengan ayam
Sentul Debu. Sejalan dengan pernyataan Thahar, dkk., (1980) bahwa warna kulit
dan bulu pengaruhnya sangat besar terhadap daya tahan panas akibat selanjutnya
berpengaruh terhadap produktivitas ternak.
Selain itu ayam Sentul yang diteliti
telah memasuki fase II (lebih dari 42 minggu) sehingga bobot telur yang
dihasilkan sudah konstan, karena pada fase II ransum yang dikonsumsi tidak lagi
digunakan untuk pertumbuhan bobot badan, melainkan untuk produksi telur dan
bobot telur. Sejalan dengan yang dikemukakan Romanoff dan Romanoff, (1963) bahwa bobot telur terus meningkat, kemudian kostan.
Rataan
bobot telur ayam Sentul Batu (40,05 gram/butir) dan ayam Sentul Debu (39,40
gram/butir) lebih rendah dari hasil penelitian Widjastuti (1996) dengan rata-rata bobot
telur untuk ayam Sentul 40,2-42,66 gram/butir,
hal ini karena konsumsi ransum kedua galur ayam Sentul di Balai Pengembangan
Perbibitan Ternak Unggas Jatiwangi lebih rendah akibat suhu yang tinggi (25-38ºC) dan
kualitas ransum yang kurang baik, yang berdampak pada jumlah protein yang
dikonsumsi lebih rendah dan berakibat turunnya bobot telur. Sejalan dengan Yuwanta (2010) menyatakan bahwa
setiap kenaikan 1ºC temperatur kandang akan menyebabkan penurunan 0,4 gram berat telur dan
penurunan berat telur akan terjadi bila suhu lingkungan lebih dari 28ºC.
Hen-day
Production
Ayam Sentul Batu dan Debu di Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Unggas
Jatiwangi
Rata-rata nilai hen-day
ayam Sentul Batu dan Debu selama
penelitian dapat dilihat pada lampiran 6. Berdasarkan hasil perhitungan, hen-day rata-rata selama penelitian
untuk ayam Sentul Batu sebesar 21,03% sedangkan ayam Sentul Debu sebesar
19,86%. Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Supardi (1996) bahwa
ayam umur 42 minggu dengan kandungan EM 2750 kkal/kg dan protein 15% didapatkan
rataan nilai hen-day sebesar 23,65%.
Sementara Widjastuti (1996) menjelaskan bahwa hen-day untuk ayam Sentul periode
produksi fase I yang dipelihara dengan sistem cage lebih tinggi adalah 41,61% dan sistem litter adalah
40,83%.
Rendahnya hen-day
pada ayam Sentul Batu dan Debu karena
umur ayam Sentul telah mencapai 48-52 minggu sudah masuk fase II (fase setelah
ayam umur 42 minggu) dan telah melewati masa puncak produksi (33-36 minggu), selain itu rendahnya kandungan EM (2662,99
kkal/kg) dan
protein (16,61%) pada ransum. Faktor lain yang mempengaruhi produksi telur yaitu faktor genetik, sistem pemeliharaan, cekaman, penyakit dan manajemen (Nataamijaya, 1993).
Ayam
Sentul Batu lebih tinggi mengkonsumsi ransum daripada ayam Sentul Debu, kondisi
Sentul Batu memiliki warna bulu yang lebih gelap yang dapat menahan panas di
dalam tubuhnya lebih tinggi sehingga untuk mengeluarkan panas dari dalam tubuh
diperlukan energi lebih banyak dibandingkan dengan ayam Sentul Debu yang
memiliki warna bulu yang lebih terang. Selain itu, suhu lingkungan yang tinggi di Jatiwangi pada siang hari antara 25-38ºC (BMKG Jatiwangi) menyebabkan ayam panting.
Panting adalah usaha ayam untuk mengurangi panas tubuh internal dengan
meningkatkan penguapan kelembaban dari kantung udara (Mulyantini, 2010). Setiap
menit ayam dapat panting sebanyak 130-160 kali ketika cuaca sangat
panas. Hasil metabolisme yang seharusnya dialokasikan untuk produksi telur
tetapi menjadi terbuang karena proses panting. Keadaan ini menyebabkan konsumsi
pakan dan air minum tidak tercapai secara optimal, akibatnya produksi telur (hen-day) tidak maksimal (Krista dan Harianto, 2011).
- KESIMPULAN
Konsumsi ransum
dan hen-day ayam Sentul Batu lebih
tinggi dibandingkan dengan Sentul Debu, sedangkan bobot telur antara kedua
galur ayam Sentul sama. Kesimpulan ini ditunjang oleh data hasil penelitian
yang menjelaskan bahwa rataan konsumsi ayam Sentul Batu yaitu 78,26
gram/ekor/hari dan ayam Sentul Debu yaitu 74,14 gram/ekor/hari, sedangkan untuk
bobot telur rata-rata untuk ayam Sentul Batu yaitu 40,05 gram/butir dan ayam
Sentul Debu yaitu 39,40 gram/butir. Hen-day
ayam Sentul Batu sebesar 21,03% dan ayam Sentul Debu sebesar 19,86%.
- DAFTAR PUSTAKA
Direktorat
Jenderal Peternakan, 2011. Statistik
Peternakan 2006. Departemen Pertanian RI. Jakarta.
Gunawan, B., D. Zainuddin, K. Dwiyanto dan S. Iskandar. 2003. Seleksi Generasi Keempat (G4) terhadap Produksi Telur untuk Mengurangi Sifat Mengeram dan Meningkatkan Produksi Telur Ayam
Lokal. Laporan Penelitian Balitnak Ciawi. Bogor.
Krista B, B. Harianto. 2011. Pembesaran
Ayam Kampung Pedaging 2,5 Bulan Balik Modal. AgroMedia Pustaka. Jakarta.
Mulyantini. 2010. Ilmu Manajemen
Ternak Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Nataamijaya A.G.. 1993. Pengamatan terhadap Status Ayam Pelung, Nunukan, Kedu, Gaok dan Sentul di Pedesaan serta Eksplorasi Kemungkinan Keberadaan Ayam Buras Langka Kainnya. Prociding
Seminar nasional pengembangan ternak ayam buras melalui wadah koperasi
menyongsong PJPT II. Universitas Padjadjaran.
Bandung.
________________,
2000. The Native of Chicken of Indonesia.
Buletin Sumber daya genetik, vol 6, No 1 Th.2000. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Bogor.
Romanoff, A.L and J. Romanoff. 1963. The Avian Egg 2nd Edition. John Wiley and Sons, New York. 267-373
Scott, M.
L, M.C. Nesheim and R.J Young. 1982. Nutrion
of the chicke. 3rd ed. M.L Scott and associates, Ithaca, New York.
Sudjana. 2005. Metode Statistika. Tarsito. Bandung.
238-241
Supardi. 1996. Pengaruh Berbagai Imbangan Energi Protein Ransum terhadap Performan
Ayam Sentul Fase Produksi II dengan Pemeliharaan Sistem Litter. Skripsi.
Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Sumedang.
Thahar, A., J. B. Moran dan
Soeripto. 1980. Karakteristik Kulit Sapi dan Kerbau Pedaging Indonesia dalam
Hubungannya dengan Ketahanan Panas. Laporan
Seminar Ruminansia II. Pusat Penelitian Pengembangan Ternak, Bogor.
Tillman, D.A., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo dan S. Lebdosoekojo. 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada
University Press. Fakultas Peternakan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Wahju, J.
1992. Ilmu Nutrisi Unggas. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta.
Widjastuti, T. 1996. Penetuan Efisiensi
Penggunaan Protein, Kebutuhan Protein dan Energi Untuk Pertumbuhan dan
Produksi Telur Ayam Sentul pada
Kandang Sistem Cage dan
Sistem Litter. Disertasi,
Universitas Padjadjaran,. Bandung
Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas
Telur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.